Sunday, July 27, 2008

TAZKIRAH & MUHASABAH - KISAH NABI MUSA MENUNTUT ILMU

Kisah pertemuan dan pengajian Nabi Musa dengan Nabi Khidir a.s. dibentangkan dalam Al-Qur'an, Surah Al-Kahfi ayat 66-82.

Kisah Nabi Khidir juga turut dinyatakan dalam Hadith Rasulullah s.a.w. Menurut Ibn ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab menceritakan bahawa beliau mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:

Sesungguhnya pada suatu hari, Nabi Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu baginda ditanya, “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku.” Lalu Allah SWT menegur Nabi Musa a.s. dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisiKu ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua buah lautan dan sesungguhnya dia lebih berilmu daripada kamu.

Lantas Nabi Musa pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dimanakah aku dapat menemuinya?” Allah pun berfirman, “Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan di dalam sangkar dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hambaKu itu.” Sesungguhnya teguran daripada Allah itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri Nabi Musa a.s. untuk menemui hamba yang soleh itu. Di samping itu, Nabi Musa juga ingin sekali mempelajari ilmu dari hamba Allah tersebut. Nabi Musa kemudiannya menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan di dalam sangkar dan berangkat bersama-sama pembantunya yang juga merupakan murid dan pembantunya, Yusya’ bin Nun ibn Ifra’im ibn Yusuf a.s. Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah batu lalu kemudiannya berhenti untuk beristirehat setelah berjalan jauh. Secara tiba-tiba ikan yang berada di dalam sangkar itu meronta-ronta dan selanjutnya terjatuh ke dalam air. Dengan kuasa Allah SWT terbentuklah aliran air sehingga memudahkan ikan sampai ke laut. Yusya’ terpegun memerhatikan kebesaran Allah menghidupkan semula ikan yang telah mati itu.

Selepas menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan luar biasa itu, beliau tertidur dan ketika terjaga, beliau lupa untuk menceritakannya kepada Nabi Musa a.s. Mereka kemudiannya meneruskan lagi perjalanan siang dan malamnya hingga pada keesokan paginya, Nabi Musa berkata kepada Yusya’ “Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Surah Al-Kahfi : 62)

Ibn ‘Abbas berkata, “Nabi Musa sebenarnya tidak merasa letih sehingga baginda melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah supaya menemui hambaNya yang lebih berilmu itu.” Yusya’ berkata kepada Nabi Musa, “Tahukah guru bahwa ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak lain yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu kembali masuk ke dalam laut itu dengan cara yang amat aneh.” (Surah Al-Kahfi : 63) Nabi Musa segera teringat sesuatu, bahwa mereka sebenarnya sudah menemukan tempat pertemuan dengan hamba Allah yang sedang dicarinya tersebut. Kini, kedua-dua mereka berpatah balik untuk kembali ke tempat tersebut yaitu di batu yang menjadi tempat persinggahan mereka sebelumnya, tempat bertemunya dua buah lautan. Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.”

Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Surah Al-Kahfi : 64) Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir a.s. Ada yang mengatakan bahawa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Parsi yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Romawi dengan Lautan Atlantik. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk ‘Aqabah di Laut Merah.

Setibanya mereka di tempat yang dituju, mereka melihat seorang hamba Allah yang berjubah putih bersih. Nabi Musa pun mengucapkan salam kepadanya. Nabi Khidir menjawab salamnya dan bertanya, “Dari mana datangnya kesejahteraan di bumi yang tidak mempunyai kesejahteraan? Siapakah kamu?”. Jawab Nabi Musa, “Aku adalah Musa.” Nabi Khidir bertanya lagi, “Musa dari Bani Isra’il?” Nabi Musa menjawab, “Ya. Aku datang menemui tuan supaya tuan dapat mengajarkan sebagian ilmu dan kebijaksanaan yang telah diajarkan kepada tuan.

Nabi Khidir menegaskan, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku” (Surah Al-Kahfi : 67). “Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebahagian daripada ilmu kurniaan Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang tidak kuketahuinya.” Nabi Musa seterusnya berkata, “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (Surah Al-Kahfi : 69) Nabi Khidir selanjutnya mengingatkan, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Surah Al-Kahfi : 70)

Demikianlah seterusnya Nabi Musa a.s. mengikuti Nabi Khidir dan dalam perjalan tersebut terjadilah beberapa peristiwa yang menguji diri Nabi Musa a.s. yang telah berjanji bahawa baginda tidak akan bertanya sebab sesuatu tindakan diambil oleh Nabi Khidir. Setiap tindakan Nabi Khidir a.s. itu dianggap aneh dan membuat Nabi Musa ingin mempersoalkannya. Kejadian yang pertama adalah apabila Nabi Khidir menebuk perahu yang ditumpanginya mereka. Nabi Musa tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya kepada Nabi Khidir lantas beliau terus bertanya. Nabi Khidir kemudian memperingatkan janji Nabi Musa, dan akhirnya Nabi Musa meminta maaf karena ketelanjurannya mengingkari janjinya untuk tidak bertanya terhadap setiap tindakan Nabi Khidir.

Selanjutnya setelah mereka sampai di suatu daratan, Nabi Khidir membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannnya. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Khidir tersebut membuat Nabi Musa tidak dapat menahan dirinya untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Khidir. Nabi Khidir kembali mengingatkan janji Nabi Musa, dan beliau diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Khidir lagi. Dan jika beliau masih bertanya lagi maka Nabi Musa harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khidir.

Seterusnya mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di satu wilayah perumahan. Mereka kepenatan dan hendak meminta bantuan kepada penduduk sekitar. Namun sikap penduduk di kawasan tersebut tidak begitu mesra dan tidak mau menerima kehadiran mereka. Hal ini membuat Nabi Musa merasa kesal terhadap penduduk itu. Setelah dikecewakan oleh penduduk, Nabi Khidir malah menyuruh Nabi Musa untuk bersama-samanya memperbaiki tembok suatu rumah yang rusak di daerah tersebut. Nabi Musa menahan dirinya lagi untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khidir ini yang membantu memperbaiki tembok rumah setelah penduduk menzalimi mereka. Akhirnya Nabi Khidir menegaskan pada Nabi Musa bahwa beliau tidak dapat menerima Nabi Musa untuk menjadi muridnya dan Nabi Musa tidak diperkenankan untuk terus melanjutkan perjalanannya bersama dengan Nabi Khidir.

Nabi Khidir turut menjelaskan mengapa beliau melakukan hal-hal yang membuat Nabi Musa bertanya. Kejadian pertama adalah Nabi Khidir membocorkan perahu yang mereka tumpangi karena perahu itu dimiliki oleh seorang yang miskin dan di daerah itu tinggallah seorang raja yang suka merampas perahu miliki rakyatnya.

Kejadian yang kedua, Nabi Khidir menjelaskan bahwa beliau membunuh seorang anak karena kedua orang tuanya adalah pasangan yang beriman dan jika anak ini menjadi dewasa dapat mendorong ibu bapanya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak ini digantikan dengan anak yang soleh dan lebih mengasihi kedua ibu bapanya hingga ke anak cucunya.

Kejadian yang ketiga (terakhir), Nabi Khidir menjelaskan bahwa rumah yang dinding diperbaiki itu adalah milik dua orang adik-beradik yatim yang tinggal di kota tersebut. Di dalam rumah tersebut tersimpan harta benda yang diwarisi untuk mereka berdua. Ayah kedua adik-beradik telah meninggal dunia dan merupakan seorang yang soleh. Jika tembok rumah tersebut runtuh, maka ada kemungkinan harta yang tersimpan tersebut akan ditemukan oleh orang-orang di kota itu yang sebagian besar masih menyembah berhala, sedangkan kedua kakak beradik tersebut masih cukup kecil untuk dapat mengendalikan harta peninggalan ayahnya.

Pengajaran:

1. Ada kalanya guru yang ingin mendidik menetapkan syarat-syarat tertentu kepada anak muridnya. Syarat yang dikenakan kadang kala dalam pelbagai bentuk. Dalam kes Nabi Khidir ini, baginda mensyaratkan Nabi Musa agar tidak mempersoalkan tindakannya di sepanjang tempoh pembelajarannya. Dalam zaman sekarang ini antara syarat yang kebiasaannya dikenakan oleh seseorang guru antaranya adalah mesti menghadirkan diri dalam setiap kuliah atau mesti melaksanakan tugasan yang diberikan dan sebagainya. Sebagai murid, seharusnya syarat-syarat yang dikenakan oleh guru dipenuhi sedapat mungkin agar dengan itu proses pendidikan dapat berjalan dengan berkesan. Walau bagaimanapun, ini tidak bermaksud bahawa seseorang murid itu tidak mempunyai ruang langsung untuk berbincang dengan gurunya terhadap persoalan yang timbul atau permasalahan yang dihadapi dalam memenuhi syarat yang ditetapkan. Seseorang guru yang benar-benar mengambil berat tentang anak muridnya tentu sekali ingin mengetahui dan membantu menyelesaikan permasalahan anak muridnya sekiranya syarat yang ditetapkan itu tidak dapat dipenuhi. Lebih-lebih lagi anak murid adalah merupakan tanggungjawab dan amanah Allah kepada guru dan tanggungjawab tersebut akan ditanya di Akhirat kelak. Maka setiap permasalahan dan pencapaian anak murid akan dipertanggungjawabkan di atas bahu guru dan pendidiknya. Oleh yang demikian, dalam kes Nabi Musa dan Nabi Khidir ini dapat dilihat bahawa di akhirnya Nabi Khidir melayani segala persoalan yang timbul dalam fikiran Nabi Musa dengan menceritakan hikmah di sebalik tindakan beliau.

2. Kisah ini juga menunjukkan terdapat dua kaedah pengajaran dan pembelajaran. Kaedah pertama adalah belajar secara rasionaliti dengan menjadikan akal sebagai alat. Kaedah inilah yang dilakukan oleh Nabi Musa dalam proses pembelajarannya dengan Nabi Khidir. Kaedah kedua pula adalah belajar menerusi ilmu yang tersirat atau dikenali sebagai ilmu ladunni dengan menjadikan hati yang bersih sebagai alat. Kaedah inilah yang dipakai oleh Nabi Khidir dalam usaha menyampaikan ilmu kepada Nabi Musa. Mana-mana satu kaedah ini tidak salah untuk dipakai dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Walau bagaimanapun, sebaik-baiknya biarlah kedua-dua guru dan juga anak murid mengajar dan belajar dengan menggunakan kaedah yang sama. Sebenarnya, dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir ini, terdapat hikmah di sebalik wujudnya perbezaan kaedah pengajaran dan pembelajaran di antara keduanya. Nabi Khidir merupakan seorang Nabi yang diberikan Allah ilmu dan tidak disyaratkan untuk diajar kepada orang lain serta tidak diwajibkan mempunyai pengikut. Maka ilmunya adalah untuk dirinya sahaja. Manakala Nabi Musa pula merupakan seorang Rasul yang dikurniakan Allah ilmu untuk dirinya dan untuk diajar kepada orang lain serta mempunyai pengikut. Maka ilmunya bukan sahaja untuk dirinya sendiri malah juga untuk pengikut-pengikutnya. Kaedah yang dipakai oleh Nabi Khidir dalam mengajar adalah lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang Nabi manakala kaedah yang dipakai oleh Nabi Musa pula adalah lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang Rasul.

3. Setiap murid harus patuh dan memelihara adab dengan gurunya. Setiap murid juga harus bersedia dididik oleh gurunya secara sepenuhnya iaitu dari awal hingga akhir. Walau bagaimanapun, untuk situasi sekarang, kepatuhan kepada guru adalah tertakluk kepada syariat Islam itu sendiri.

4. Dalam setiap bentuk perjuangan termasuklah dalam proses mendidik mesti ada strategi tertentu. Sebagai strategi, maka ia tidak pula wajib untuk dihebahkan atau diceritakan kepada orang lain. Inilah yang dilakukan oleh Nabi Khidir. Dalam kisah ini diperhatikan ada strategi yang diperjuangkan oleh Nabi Khidir. Pertamanya, strategi menyelamatkan rakyat yang tertindas dari pemimpin yang zalim. Kedua, strategi menyelamatkan aqidah umat. Dan yang ketiganya, strategi menyelamatkan anak yatim daripada kerakusan orang-orang tamak. Oleh yang demikian, sebagai seorang murid mahupun pengikut, perlu patuh kepada guru mahupun pemimpin kerana setiap yang dilakukan ada strategi tertentu dan tidak kesemua strategi akan diceritakan kepada murid dan pengikut itu sendiri. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Hassan al-Banna bila mana beliau memerintahkan kesemua pengikutnya mencukur janggut yang merupakan sunnah untuk disimpan. Tindakan Hassan al-Banna ini sebenarnya adalah untuk mengelabui mata pemimpin yang mahu menghancurkan perjuangan Islam dengan cara membunuh tiap pengikut gerakan Islam. Salah satu tanda ahli pejuang Islam yang diketahui oleh pemimpin diketika itu adalah mereka yang menegakkan sunnah Rasulullah s.a.w.

Bahan ini merupakan tazkirah yang disampaikan oleh Profesor Muhammad Syukri Salleh dalam kuliah SIW502, Program Sarjana Pengurusan Pembangunan Islam dan diperkemaskan berdasarkan artikel bertajuk "Nabi Khidir" yang dicapai dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nabi_Khidir.

Saturday, July 19, 2008

TAZKIRAH & MUHASABAH - KISAH IMAM AL-GHAZALI MENUNTUT ILMU

Suatu ketika Imam Ghazali bersembahyang jemaah dengan adiknya. Imam Ghazali menjadi Imam manakala adiknya menjadi makmum. Tiba-tiba semasa bersembahyang, adik Imam Ghazali mufarakah (keluar daripada menjadi makmum) dan bersembahyang sendirian.

Setelah selesai menunaikan sembahyang Imam Ghazali terus bertanya kepada adiknya: "Mengapa ketika bersembahyang engkau meninggalkan aku dan bersembahyang sendirian"


Lantas adiknya menjawab; "Bagaimanakah aku hendak bersembahyang denganmu. Aku lihat tubuhmu penuh bersalut darah. Lantaran itulah aku bermufarakah dan sembahyang sendirian"


Mendengar jawapan adiknya itu Imam Ghazali terus berfikir dan lantas teringat bahawa memang benar, pada ketika itu beliau sedang menulis tentang permasalahan haidh. Dan, memang benar juga, terdapat satu saat semasa beliau menunaikan sembahyang pemikiran beliau terbawa-bawa oleh apa yang sedang beliau tulis itu. Dan saat itu jugalah Allah zahirkan apa yang sedang beliau fikirkan itu ke mata adiknya sehingga adiknya melihat tubuh badannya dipenuhi dengan darah.


Imam Ghazali terkejut lantas bertanya kepada adiknya; "Bagaimanakah kamu berupaya untuk melihat hal yang ghaib? Beritahulah kepadaku dari siapa kamu belajar ilmu ini"


Adiknya kemudian menjawab; "Engkau tidak layak belajar dengannya. Engkau orang yang masyhur, sedangkan guruku ini orang biasa sahaja"


Imam Ghazali terus mendesak sehingga akhirnya adik beliau bersetuju untuk membawanya berjumpa dengan gurunya itu. Di pasar, mereka mendatangi seorang penjual daging. Lalu adiknya memberitahu itulah guruku.


Imam Ghazali terus berkata kepada penjual daging;"Tuan, saya mohon untuk belajar ilmu dengan Tuan"


Penjual daging menggelengkan kepalanya lalu berkata; "Aku tidak ada ilmu untuk mengajar kamu"


Imam Ghazali merayu sekali lagi; "Ajarlah saya. Ajarkanlah saya ilmu yang Tuan tidak ada itu"


Penjual daging tetap enggan menunaikan keinginan Imam Ghazali itu. Akhirnya Imam Ghazali berkata kepada penjual daging tersebut; "Ajarlah saya. Saya serahkan diri saya kepada Tuan seumpama mayat menyerahkan diri kepada si tukang mandi"


Penjual Daging kemudian berkata; "Baiklah, tanggalkanlah jubah kebesaran kamu itu (jubah yang dipakai Imam Ghazali kerana beliau merupakan orang tertinggi di Universiti Nizamiyyah). Sapulah meja tempat aku memotong dan menjual daging ini dengan jubahmu itu."


Tanpa berlengah lagi Imam Ghazali terus menunaikan kehendak penjual daging tersebut tanpa sedikitpun merasa terkilan. Setelah selesai, beliau berkata lagi kepada penjual daging; "Ajarkanlah aku ilmu"


Penjual daging kemudian berkata;"Baiklah, esok datanglah ke rumahku selepas Subuh"


Tepat selepas Subuh keesokan harinya Imam Ghazali sudah sedia menanti sipenjual daging di hadapan rumah. Sebaik sahaja melihat Imam Ghazali beliau terus menyuruhnya memotong rumput di kawasan rumah. Imam Ghazali terus akur tanpa terdetik di dalam hatinya sedikitpun rasa terhina. Selesai menyiapkan tugas yang dipinta oleh penjual daging, Imam Ghazali pun mendatangi beliau, lalu mengulangi kata-kata;"Ajarkanlah aku ilmu"


Penjual daging berkata;"Baiklah, esok datanglah ke rumahku selepas Subuh"


Sama seperti hari sebelumnya, sebaik-baik sahaja selepas Subuh Imam Ghazali sedia menunggu di hadapan rumah penjual daging. Melihatkan Imam Ghazali, penjual daging meminta pula beliau mencuci longkang di sekeliling rumahnya. Imam Ghazali tetap taat menuruti perintah penjual daging.


Setelah selesai, Imam Ghazali berkata kepada penjual daging;"Wahai Tuan, kerja yang Tuan suruh telah dilaksanakan. Ajarkanlah aku ilmu."


Penjual daging berkata lagi;"Baiklah, datanglah kembali selepas Subuh esok"


Keesokan harinya hal yang sama juga berlaku. Kali ini penjual daging meminta Imam Ghazali menimba najis dari tandas beliau. Tugas yang ini juga dilaksanakan tanpa terselit sedikitpun perasaan terhina dalam hati Imam Ghazali.


Apabila selesai penjual daging tersebut berkata; "Segala ilmu yang kamu mahu telah kamu dapat. Pulanglah."


Dalam perjalanan pulang Imam Ghazali terkejut kerana mendapati pandangannya telah tersingkap dan beliau dapat melihat hal-hal yang ghaib.


Pengajaran:


1. Kita melihat Imam Ghazali sebaik sahaja mengetahui tentang sesuatu ilmu terus sahaja beliau mencari dan mendatanginya serta berusaha untuk mendapatkannya tanpa berputus asa. Tidak pula beliau mengambil sikap menunggu ilmu itu mendatangi beliau.


2. Perkara lain yang boleh dipelajari ialah ketaatan Imam Ghazali terhadap arahan gurunya. Apabila diminta datang selepas Subuh, beliau menghadirkan diri tepat pada waktunya. Tatkala diminta membuat pelbagai perkara, beliau akur tanpa banyak bersoal jawab bahkan tidak terdetik pun di dalam hatinya perasaan musykil dan prasangka terhadap gurunya. Sikapnya yang tawaduk dan menyerahkan diri bulat-bulat seumpama mayat menyerah diri kepada si tukang mandi agar dapat dididik sepenuhnya oleh gurunya inilah yang mendorongnya untuk mentaati tiap perintah, membuat segala yang disuruh dan meninggalkan apa yang dilarang oleh gurunya.


3. Dalam mendidik, penjual daging tersebut menumpukan kepada mengikis sifat-sifat mazmumah seperti ego dan menanamkan sifat-sifat mahmudah seperti tawadhuk dalam diri anak muridnya. Sifat-sifat mazmumahlah sebenarnya yang menghijab ilmu yang ingin dialirkan daripada sampai ke hati. Manakala sifat mahmudah merupakan kunci kepada kefahaman ilmu. Apabila hati bersih, hati mudah menerima ilmu. Dan dengan hati yang bersih dari sifat mazmumah ini juga menjadikan hati itu semakin tenang dengan banyaknya ilmu dan bukannya semakin berserabut.


Hasil daripada itu kita dapat lihat mengalirnya keberkatan ilmu dari gurunya itu kepada Imam Ghazali. Sehingga beliau berupaya menghasilkan tulisan yang agung, dapat menghafal lebih 100,000 hadith dan digelar Hujjatul Islam. [Ilustrasi dari bahan terbitan Karya One Sdn Bhd].


Bahan ini ditranskripsi dari tazkirah yang disampaikan oleh Profesor Muhammad Syukri Salleh dalam kuliah SIW502, Program Sarjana Pengurusan Pembangunan Islam.

Saturday, July 12, 2008

TAZKIRAH & MUHASABAH - KISAH IMAM SHAFIE MENUNTUT ILMU

Imam Shafie merupakan salah seorang Imam Mazhab yang empat. Beliau mempunyai ketajaman akal dan kecerdikan yang luar biasa. Beliau telah menghafaz al-Quran seawal umur 9 tahun lagi. Setahun kemudian pula, beliau menghafal kitab al-Muwatta’ karangan Imam Malik. Beliau merupakan seorang yang sangat mencintai ilmu. Lantaran itu, pada satu hari beliau meminta izin daripada ibunya untuk keluar menuntut ilmu ke Madinah. Ia merupakan kali pertama Imam Shafie keluar daripada tempat kelahirannya, Makkah dan mengembara untuk meluaskan ilmu.

Apabila tiba di Madinah, beliau terus menuju ke Masjid Nabawi dan menunaikan solat sunat dua rakaat. Setelah selesai solat, beliau terpandang satu Majlis ilmu yang disampaikan oleh seseorang yang sangat hebat dalam masjid tersebut. Orang tersebut sedang bersyarah di hadapan begitu ramai anak-anak muda yang kesemuanya khusyuk mendengarnya. Orang itu ialah Imam Malik yang sedang mengajar murid-muridnya tentang hadis-hadis Rasulullah s.a.w. Dengan langkah yang tertib, Imam Shafie terus menuju ke tempat Imam Malik dan duduk bersama murid-murid beliau. Imam Shafie lantas mengambil sebatang lidi lalu membasahkannya dengan air liur. Beliau menulis segala apa yang diajar oleh Imam Malik tersebut di atas tapak tangannya. Tanpa di sedari, Imam Malik memerhati segala tingkah lakunya.

Selesai pengajian, Imam Malik pun memanggil Imam Shafie untuk menegur beliau. Sangkanya Imam Shafie berbuat perkara kurang sopan ketika belajar. Imam Malik bertanya kepada Imam Shafie, “Apakah kamu berasal dari Makkah”. Jawab Imam Shafie, “Benar”. Imam Malik kemudian bertanya, “Mengapakah engkau bermain-main dengan lidi dan air liurmu semasa aku sedang mengajar?”. Jawab Imam Shafie, “Maaf tuan. Sebenarnya saya tidak bermain-main. Oleh kerana saya tidak ada kertas dan pena, segala yang tuan ajar saya tulis di atas tapak tangan saya dengan menggunakan lidi dan air liur untuk saya menghafalnya”.

Apabila Imam Malik membelek-belek tangan Imam Shafie, beliau tidak menjumpai sebarang tulisan pun. Beliau terus berkata, “Tetapi kenapa tapak tangan engkau ni kosong sahaja”.

Kata Imam Shafie, “Benar tuan. Namun demikian tuan, saya telah pun menghafal semua hadis-hadis yang tuan riwayatkan itu”.

Setelah beliau disuruh membaca apa yang dihafalnya, Imam Malik mendapati tidak ada satu hadis yang tinggal daripada 20 hadis yang diajar hari itu. Perkara yang aneh ini belum pernah terjadi sebelumnya. Imam Malik begitu tertarik hati dengan kebijaksanaannya. Semenjak peristiwa itu, Imam Shafie dijemput untuk menetap di rumah Imam Malik sebagai tetamu sekali gus menuntut ilmu dengan Imam Malik. Selama 18 bulan Imam Shafie berguru dengan Imam Malik. Hatinya yang terang memudahkan beliau memahami dan menghafal kitab al-Muwatta’. Sehingga akhirnya, murid kesayangan Imam Malik ini sering diberi penghormatan bersyarah dan mengajar murid-murid yang lain.

Pengajaran:

1.Diperhatikan kehadiran Imam Shafie yang sedikit lewat dalam majlis ilmu Imam Malik telah sedikit sebanyak mengganggu perhatian Imam Malik untuk menyampaikan ilmu sepenuhnya. Lantaran itu, dalam menuntut ilmu sebaik-baiknya biarlah berada di dalam majlis seawal mungkin dan tepat pada masanya kerana sesungguhnya ilmu itu ditunggu dan bukannya menunggu. Hal ini juga dapat mengelak daripada penyampai ilmu dan penerima ilmu yang berada dalam majlis merasa terganggu dengan keterlewatan kita itu.

2. Dalam majlis ilmu, tumpuan perhatian yang sepenuhnya perlu diberikan kepada penyampaian ilmu. Apa sahaja perlakuan yang tidak berkaitan seharusnya dielakkan. Perlakuan Imam Shafie sahaja yang sedang mencatat isi pengajaran kuliah Imam Malik dengan menggunakan lidi dan air liur di atas tapak tangan pun sudah begitu mengganggu tumpuan Imam Malik untuk mengajar apatah lagi sekiranya ada anak-anak murid yang bercakap-cakap atau melakukan hal-hal lain yang tidak berkaitan semasa pengajaran.

3. Seorang pendidik yang baik akan mengenal pasti kebolehan dan keistimewaan anak muridnya dalam mendidik, agar dengan itu proses pendidikan dapat dilakukan dengan tepat, sesuai dengan kebolehan dan keupayaan murid tersebut. Menyedari kemampuan dan keistimewaan Imam Shafie, Imam Malik terus mengajak Imam Shafie ke rumah beliau untuk terus dididik dan dipertajamkan kebolehannya sehingga akhirnya ilmu tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebaikan umat. [Ilustrasi dari bahan terbitan Multi Triple Vision Sdn Bhd].

Bahan ini ditranskripsi dari tazkirah yang disampaikan oleh Profesor Muhammad Syukri Salleh dalam kuliah SIW502, Program Sarjana Pengurusan Pembangunan Islam.

Friday, July 11, 2008

KONSEP KUALITI LAZIM DALAM AJARAN ISLAM?

Secara umumnya, pengertian kualiti yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh kualiti lazim tampak cukup baik sekali. Sebagai contoh, pengertian kualiti yang dicirikan sebagai usaha memenuhi kehendak pelanggan, memastikan produk yang dihasilkan sesuai dengan kegunaannya, kompetitif, tanpa sebarang kecacatan dan menghampiri kesempurnaan merupakan nilai yang dianggap universal dan diterima umum. Begitu juga matlamat untuk mencapai yang terbaik dalam setiap pekerjaan yang dilaksanakan di peringkat institusi dan saling bekerjasama di antara ahli institusi untuk mencapai matlamat tersebut. Atas dasar ini, konsep kualiti yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh kualiti lazim sering diperakui sebagai konsep yang selari dengan ajaran Islam atau diyakini sebagai sintesis daripada ajaran Islam oleh sesetengah pemikir pengurusan dan pembangunan Islam. Sandaran penghujahan daripada sumber rujukan utama Islam iaitu al-Quran dan Hadis juga digunakan untuk memperkukuhkan pandangan yang dikemukakan itu.

Bahkan istilah kualiti lazim juga turut disama ertikan dengan istilah-istilah yang merujuk kepada kebaikan dan kecemerlangan dalam al-Quran dan juga Hadis. Ada di antaranya yang merujuk kualiti lazim sebagai hasanat, toyyibat, al-khair dan al-ma‘ruf yang disebut di dalam al-Quran dan al-itqan yang disebutkan di dalam Hadis Rasulullah s.a.w. Manakala konsep memenuhi kehendak pelanggan pula disama ertikan dengan konsep menunaikan hajat insan lain dalam ajaran Islam.

Terdapat juga pemikir-pemikir pengurusan Islam yang berpandangan konsep kualiti lazim yang berpusatkan pencapaian kesempurnaan dalam penghasilan produk dan penawaran perkhidmatan adalah seiring dengan penciptaan kejadian-kejadian di dunia ini yang dilakukan penuh dengan ciri-ciri kesempurnaan oleh Allah SWT. Untuk tujuan ini, ayat-ayat al-Quran berikut sering dijadikan sebagai sandaran.

Engkau tidak dapat melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah itu sebarang keadaan yang tidak seimbang dan tidak munasabah; (jika engkau ragu-ragu) maka ulangilah pandangan(mu) – dapatkah engkau melihat sebarang kecacatan” [Surah al-Mulk, 67:3].

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (dan berkelengkapan sesuai dengan keadaannya)[Surah al-Tin, 95:4].

Dalam pada itu, sesetengah pemikir Islam pula membincangkan keharusan pemakaian konsep kualiti lazim dari perspektif kesan pelaksanaannya. Sebagai contoh, pemakaian kaedah pengurusan kualiti lazim secara tidak langsung digalakkan dalam Islam kerana terdapat anjuran untuk berusaha dengan penuh kesungguhan bagi memperoleh rezeki yang halal dan juga untuk meningkatkan produktiviti dan pencapaian seseorang individu atau sesebuah organisasi. Hal ini diyakini dapat menyumbang kepada peningkatan sumber kekayaan umat Islam dan membantu merealisasikan pelaksanaan ibadah-ibadah lain yang dituntut dalam Islam seperti ibadah zakat.

Di atas dasar inilah diperhatikan tidak sedikit individu dan badan-badan Islam yang berautoriti pada masa ini berkeyakinan bahawa konsep kualiti lazim dapat memberikan kesan yang positif terhadap usaha pembangunan berteraskan Islam yang dilaksanakan umpamanya memangkinkan pembangunan yang ingin dilaksanakan. Di Malaysia sendiri terdapat cadangan yang menganjurkan pemakaian konsep kualiti lazim ke atas pengurusan institusi pembangunan berteraskan Islam termasuklah institusi masjid. Cadangan ini dibuat dengan keyakinan bahawa pengurusan institusi masjid akan dapat menerima anjakan paradigma dan seterusnya diharap dapat berperanan secara lebih berkesan dan mantap.

Namun demikian, apakah benar konsep kualiti lazim merupakan konsep yang selari dengan ajaran Islam atau sintesis daripada ajaran Islam? Benarkah konsep kualiti lazim mempunyai pengertian dan falsafah yang sama dengan konsep hasanat, toyyibat, al-khair dan al-ma‘ruf yang disebut dalam al-Quran dan al-itqan yang disebut dalam Hadis? [Ilustrasi dari bahan terbitan Penerbit Muttaqin]