Kisah pertemuan dan pengajian Nabi Musa dengan Nabi Khidir a.s. dibentangkan dalam Al-Qur'an, Surah Al-Kahfi ayat 66-82.
Kisah Nabi Khidir juga turut dinyatakan dalam Hadith Rasulullah s.a.w. Menurut Ibn ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab menceritakan bahawa beliau mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sesungguhnya pada suatu hari, Nabi Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu baginda ditanya, “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku.” Lalu Allah SWT menegur Nabi Musa a.s. dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisiKu ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua buah lautan dan sesungguhnya dia lebih berilmu daripada kamu.”
Lantas Nabi Musa pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dimanakah aku dapat menemuinya?” Allah pun berfirman, “Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan di dalam sangkar dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hambaKu itu.” Sesungguhnya teguran daripada Allah itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri Nabi Musa a.s. untuk menemui hamba yang soleh itu. Di samping itu, Nabi Musa juga ingin sekali mempelajari ilmu dari hamba Allah tersebut. Nabi Musa kemudiannya menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan di dalam sangkar dan berangkat bersama-sama pembantunya yang juga merupakan murid dan pembantunya, Yusya’ bin Nun ibn Ifra’im ibn Yusuf a.s. Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah batu lalu kemudiannya berhenti untuk beristirehat setelah berjalan jauh. Secara tiba-tiba ikan yang berada di dalam sangkar itu meronta-ronta dan selanjutnya terjatuh ke dalam air. Dengan kuasa Allah SWT terbentuklah aliran air sehingga memudahkan ikan sampai ke laut. Yusya’ terpegun memerhatikan kebesaran Allah menghidupkan semula ikan yang telah mati itu.
Selepas menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan luar biasa itu, beliau tertidur dan ketika terjaga, beliau lupa untuk menceritakannya kepada Nabi Musa a.s. Mereka kemudiannya meneruskan lagi perjalanan siang dan malamnya hingga pada keesokan paginya, Nabi Musa berkata kepada Yusya’ “Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Surah Al-Kahfi : 62)
Ibn ‘Abbas berkata, “Nabi Musa sebenarnya tidak merasa letih sehingga baginda melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah supaya menemui hambaNya yang lebih berilmu itu.” Yusya’ berkata kepada Nabi Musa, “Tahukah guru bahwa ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak lain yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu kembali masuk ke dalam laut itu dengan cara yang amat aneh.” (Surah Al-Kahfi : 63) Nabi Musa segera teringat sesuatu, bahwa mereka sebenarnya sudah menemukan tempat pertemuan dengan hamba Allah yang sedang dicarinya tersebut. Kini, kedua-dua mereka berpatah balik untuk kembali ke tempat tersebut yaitu di batu yang menjadi tempat persinggahan mereka sebelumnya, tempat bertemunya dua buah lautan. Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.”
Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Surah Al-Kahfi : 64) Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir a.s. Ada yang mengatakan bahawa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Parsi yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Romawi dengan Lautan Atlantik. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk ‘Aqabah di Laut Merah.
Setibanya mereka di tempat yang dituju, mereka melihat seorang hamba Allah yang berjubah putih bersih. Nabi Musa pun mengucapkan salam kepadanya. Nabi Khidir menjawab salamnya dan bertanya, “Dari mana datangnya kesejahteraan di bumi yang tidak mempunyai kesejahteraan? Siapakah kamu?”. Jawab Nabi Musa, “Aku adalah Musa.” Nabi Khidir bertanya lagi, “Musa dari Bani Isra’il?” Nabi Musa menjawab, “Ya. Aku datang menemui tuan supaya tuan dapat mengajarkan sebagian ilmu dan kebijaksanaan yang telah diajarkan kepada tuan.”
Nabi Khidir menegaskan, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku” (Surah Al-Kahfi : 67). “Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebahagian daripada ilmu kurniaan Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang tidak kuketahuinya.” Nabi Musa seterusnya berkata, “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (Surah Al-Kahfi : 69) Nabi Khidir selanjutnya mengingatkan, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Surah Al-Kahfi : 70)
Demikianlah seterusnya Nabi Musa a.s. mengikuti Nabi Khidir dan dalam perjalan tersebut terjadilah beberapa peristiwa yang menguji diri Nabi Musa a.s. yang telah berjanji bahawa baginda tidak akan bertanya sebab sesuatu tindakan diambil oleh Nabi Khidir. Setiap tindakan Nabi Khidir a.s. itu dianggap aneh dan membuat Nabi Musa ingin mempersoalkannya. Kejadian yang pertama adalah apabila Nabi Khidir menebuk perahu yang ditumpanginya mereka. Nabi Musa tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya kepada Nabi Khidir lantas beliau terus bertanya. Nabi Khidir kemudian memperingatkan janji Nabi Musa, dan akhirnya Nabi Musa meminta maaf karena ketelanjurannya mengingkari janjinya untuk tidak bertanya terhadap setiap tindakan Nabi Khidir.
Selanjutnya setelah mereka sampai di suatu daratan, Nabi Khidir membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannnya. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Khidir tersebut membuat Nabi Musa tidak dapat menahan dirinya untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Khidir. Nabi Khidir kembali mengingatkan janji Nabi Musa, dan beliau diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Khidir lagi. Dan jika beliau masih bertanya lagi maka Nabi Musa harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khidir.
Seterusnya mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di satu wilayah perumahan. Mereka kepenatan dan hendak meminta bantuan kepada penduduk sekitar. Namun sikap penduduk di kawasan tersebut tidak begitu mesra dan tidak mau menerima kehadiran mereka. Hal ini membuat Nabi Musa merasa kesal terhadap penduduk itu. Setelah dikecewakan oleh penduduk, Nabi Khidir malah menyuruh Nabi Musa untuk bersama-samanya memperbaiki tembok suatu rumah yang rusak di daerah tersebut. Nabi Musa menahan dirinya lagi untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khidir ini yang membantu memperbaiki tembok rumah setelah penduduk menzalimi mereka. Akhirnya Nabi Khidir menegaskan pada Nabi Musa bahwa beliau tidak dapat menerima Nabi Musa untuk menjadi muridnya dan Nabi Musa tidak diperkenankan untuk terus melanjutkan perjalanannya bersama dengan Nabi Khidir.
Nabi Khidir turut menjelaskan mengapa beliau melakukan hal-hal yang membuat Nabi Musa bertanya. Kejadian pertama adalah Nabi Khidir membocorkan perahu yang mereka tumpangi karena perahu itu dimiliki oleh seorang yang miskin dan di daerah itu tinggallah seorang raja yang suka merampas perahu miliki rakyatnya.
Kejadian yang kedua, Nabi Khidir menjelaskan bahwa beliau membunuh seorang anak karena kedua orang tuanya adalah pasangan yang beriman dan jika anak ini menjadi dewasa dapat mendorong ibu bapanya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak ini digantikan dengan anak yang soleh dan lebih mengasihi kedua ibu bapanya hingga ke anak cucunya.
Kejadian yang ketiga (terakhir), Nabi Khidir menjelaskan bahwa rumah yang dinding diperbaiki itu adalah milik dua orang adik-beradik yatim yang tinggal di kota tersebut. Di dalam rumah tersebut tersimpan harta benda yang diwarisi untuk mereka berdua. Ayah kedua adik-beradik telah meninggal dunia dan merupakan seorang yang soleh. Jika tembok rumah tersebut runtuh, maka ada kemungkinan harta yang tersimpan tersebut akan ditemukan oleh orang-orang di kota itu yang sebagian besar masih menyembah berhala, sedangkan kedua kakak beradik tersebut masih cukup kecil untuk dapat mengendalikan harta peninggalan ayahnya.
Pengajaran:
1. Ada kalanya guru yang ingin mendidik menetapkan syarat-syarat tertentu kepada anak muridnya. Syarat yang dikenakan kadang kala dalam pelbagai bentuk. Dalam kes Nabi Khidir ini, baginda mensyaratkan Nabi Musa agar tidak mempersoalkan tindakannya di sepanjang tempoh pembelajarannya. Dalam zaman sekarang ini antara syarat yang kebiasaannya dikenakan oleh seseorang guru antaranya adalah mesti menghadirkan diri dalam setiap kuliah atau mesti melaksanakan tugasan yang diberikan dan sebagainya. Sebagai murid, seharusnya syarat-syarat yang dikenakan oleh guru dipenuhi sedapat mungkin agar dengan itu proses pendidikan dapat berjalan dengan berkesan. Walau bagaimanapun, ini tidak bermaksud bahawa seseorang murid itu tidak mempunyai ruang langsung untuk berbincang dengan gurunya terhadap persoalan yang timbul atau permasalahan yang dihadapi dalam memenuhi syarat yang ditetapkan. Seseorang guru yang benar-benar mengambil berat tentang anak muridnya tentu sekali ingin mengetahui dan membantu menyelesaikan permasalahan anak muridnya sekiranya syarat yang ditetapkan itu tidak dapat dipenuhi. Lebih-lebih lagi anak murid adalah merupakan tanggungjawab dan amanah Allah kepada guru dan tanggungjawab tersebut akan ditanya di Akhirat kelak. Maka setiap permasalahan dan pencapaian anak murid akan dipertanggungjawabkan di atas bahu guru dan pendidiknya. Oleh yang demikian, dalam kes Nabi Musa dan Nabi Khidir ini dapat dilihat bahawa di akhirnya Nabi Khidir melayani segala persoalan yang timbul dalam fikiran Nabi Musa dengan menceritakan hikmah di sebalik tindakan beliau.
Kisah Nabi Khidir juga turut dinyatakan dalam Hadith Rasulullah s.a.w. Menurut Ibn ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab menceritakan bahawa beliau mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sesungguhnya pada suatu hari, Nabi Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu baginda ditanya, “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku.” Lalu Allah SWT menegur Nabi Musa a.s. dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisiKu ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua buah lautan dan sesungguhnya dia lebih berilmu daripada kamu.”
Lantas Nabi Musa pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dimanakah aku dapat menemuinya?” Allah pun berfirman, “Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan di dalam sangkar dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hambaKu itu.” Sesungguhnya teguran daripada Allah itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri Nabi Musa a.s. untuk menemui hamba yang soleh itu. Di samping itu, Nabi Musa juga ingin sekali mempelajari ilmu dari hamba Allah tersebut. Nabi Musa kemudiannya menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan di dalam sangkar dan berangkat bersama-sama pembantunya yang juga merupakan murid dan pembantunya, Yusya’ bin Nun ibn Ifra’im ibn Yusuf a.s. Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah batu lalu kemudiannya berhenti untuk beristirehat setelah berjalan jauh. Secara tiba-tiba ikan yang berada di dalam sangkar itu meronta-ronta dan selanjutnya terjatuh ke dalam air. Dengan kuasa Allah SWT terbentuklah aliran air sehingga memudahkan ikan sampai ke laut. Yusya’ terpegun memerhatikan kebesaran Allah menghidupkan semula ikan yang telah mati itu.
Selepas menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan luar biasa itu, beliau tertidur dan ketika terjaga, beliau lupa untuk menceritakannya kepada Nabi Musa a.s. Mereka kemudiannya meneruskan lagi perjalanan siang dan malamnya hingga pada keesokan paginya, Nabi Musa berkata kepada Yusya’ “Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Surah Al-Kahfi : 62)
Ibn ‘Abbas berkata, “Nabi Musa sebenarnya tidak merasa letih sehingga baginda melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah supaya menemui hambaNya yang lebih berilmu itu.” Yusya’ berkata kepada Nabi Musa, “Tahukah guru bahwa ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak lain yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu kembali masuk ke dalam laut itu dengan cara yang amat aneh.” (Surah Al-Kahfi : 63) Nabi Musa segera teringat sesuatu, bahwa mereka sebenarnya sudah menemukan tempat pertemuan dengan hamba Allah yang sedang dicarinya tersebut. Kini, kedua-dua mereka berpatah balik untuk kembali ke tempat tersebut yaitu di batu yang menjadi tempat persinggahan mereka sebelumnya, tempat bertemunya dua buah lautan. Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.”
Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Surah Al-Kahfi : 64) Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir a.s. Ada yang mengatakan bahawa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Parsi yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Romawi dengan Lautan Atlantik. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk ‘Aqabah di Laut Merah.
Setibanya mereka di tempat yang dituju, mereka melihat seorang hamba Allah yang berjubah putih bersih. Nabi Musa pun mengucapkan salam kepadanya. Nabi Khidir menjawab salamnya dan bertanya, “Dari mana datangnya kesejahteraan di bumi yang tidak mempunyai kesejahteraan? Siapakah kamu?”. Jawab Nabi Musa, “Aku adalah Musa.” Nabi Khidir bertanya lagi, “Musa dari Bani Isra’il?” Nabi Musa menjawab, “Ya. Aku datang menemui tuan supaya tuan dapat mengajarkan sebagian ilmu dan kebijaksanaan yang telah diajarkan kepada tuan.”
Nabi Khidir menegaskan, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku” (Surah Al-Kahfi : 67). “Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebahagian daripada ilmu kurniaan Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang tidak kuketahuinya.” Nabi Musa seterusnya berkata, “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (Surah Al-Kahfi : 69) Nabi Khidir selanjutnya mengingatkan, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Surah Al-Kahfi : 70)
Demikianlah seterusnya Nabi Musa a.s. mengikuti Nabi Khidir dan dalam perjalan tersebut terjadilah beberapa peristiwa yang menguji diri Nabi Musa a.s. yang telah berjanji bahawa baginda tidak akan bertanya sebab sesuatu tindakan diambil oleh Nabi Khidir. Setiap tindakan Nabi Khidir a.s. itu dianggap aneh dan membuat Nabi Musa ingin mempersoalkannya. Kejadian yang pertama adalah apabila Nabi Khidir menebuk perahu yang ditumpanginya mereka. Nabi Musa tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya kepada Nabi Khidir lantas beliau terus bertanya. Nabi Khidir kemudian memperingatkan janji Nabi Musa, dan akhirnya Nabi Musa meminta maaf karena ketelanjurannya mengingkari janjinya untuk tidak bertanya terhadap setiap tindakan Nabi Khidir.
Selanjutnya setelah mereka sampai di suatu daratan, Nabi Khidir membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannnya. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Khidir tersebut membuat Nabi Musa tidak dapat menahan dirinya untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Khidir. Nabi Khidir kembali mengingatkan janji Nabi Musa, dan beliau diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Khidir lagi. Dan jika beliau masih bertanya lagi maka Nabi Musa harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khidir.
Seterusnya mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di satu wilayah perumahan. Mereka kepenatan dan hendak meminta bantuan kepada penduduk sekitar. Namun sikap penduduk di kawasan tersebut tidak begitu mesra dan tidak mau menerima kehadiran mereka. Hal ini membuat Nabi Musa merasa kesal terhadap penduduk itu. Setelah dikecewakan oleh penduduk, Nabi Khidir malah menyuruh Nabi Musa untuk bersama-samanya memperbaiki tembok suatu rumah yang rusak di daerah tersebut. Nabi Musa menahan dirinya lagi untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khidir ini yang membantu memperbaiki tembok rumah setelah penduduk menzalimi mereka. Akhirnya Nabi Khidir menegaskan pada Nabi Musa bahwa beliau tidak dapat menerima Nabi Musa untuk menjadi muridnya dan Nabi Musa tidak diperkenankan untuk terus melanjutkan perjalanannya bersama dengan Nabi Khidir.
Nabi Khidir turut menjelaskan mengapa beliau melakukan hal-hal yang membuat Nabi Musa bertanya. Kejadian pertama adalah Nabi Khidir membocorkan perahu yang mereka tumpangi karena perahu itu dimiliki oleh seorang yang miskin dan di daerah itu tinggallah seorang raja yang suka merampas perahu miliki rakyatnya.
Kejadian yang kedua, Nabi Khidir menjelaskan bahwa beliau membunuh seorang anak karena kedua orang tuanya adalah pasangan yang beriman dan jika anak ini menjadi dewasa dapat mendorong ibu bapanya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak ini digantikan dengan anak yang soleh dan lebih mengasihi kedua ibu bapanya hingga ke anak cucunya.
Kejadian yang ketiga (terakhir), Nabi Khidir menjelaskan bahwa rumah yang dinding diperbaiki itu adalah milik dua orang adik-beradik yatim yang tinggal di kota tersebut. Di dalam rumah tersebut tersimpan harta benda yang diwarisi untuk mereka berdua. Ayah kedua adik-beradik telah meninggal dunia dan merupakan seorang yang soleh. Jika tembok rumah tersebut runtuh, maka ada kemungkinan harta yang tersimpan tersebut akan ditemukan oleh orang-orang di kota itu yang sebagian besar masih menyembah berhala, sedangkan kedua kakak beradik tersebut masih cukup kecil untuk dapat mengendalikan harta peninggalan ayahnya.
Pengajaran:
1. Ada kalanya guru yang ingin mendidik menetapkan syarat-syarat tertentu kepada anak muridnya. Syarat yang dikenakan kadang kala dalam pelbagai bentuk. Dalam kes Nabi Khidir ini, baginda mensyaratkan Nabi Musa agar tidak mempersoalkan tindakannya di sepanjang tempoh pembelajarannya. Dalam zaman sekarang ini antara syarat yang kebiasaannya dikenakan oleh seseorang guru antaranya adalah mesti menghadirkan diri dalam setiap kuliah atau mesti melaksanakan tugasan yang diberikan dan sebagainya. Sebagai murid, seharusnya syarat-syarat yang dikenakan oleh guru dipenuhi sedapat mungkin agar dengan itu proses pendidikan dapat berjalan dengan berkesan. Walau bagaimanapun, ini tidak bermaksud bahawa seseorang murid itu tidak mempunyai ruang langsung untuk berbincang dengan gurunya terhadap persoalan yang timbul atau permasalahan yang dihadapi dalam memenuhi syarat yang ditetapkan. Seseorang guru yang benar-benar mengambil berat tentang anak muridnya tentu sekali ingin mengetahui dan membantu menyelesaikan permasalahan anak muridnya sekiranya syarat yang ditetapkan itu tidak dapat dipenuhi. Lebih-lebih lagi anak murid adalah merupakan tanggungjawab dan amanah Allah kepada guru dan tanggungjawab tersebut akan ditanya di Akhirat kelak. Maka setiap permasalahan dan pencapaian anak murid akan dipertanggungjawabkan di atas bahu guru dan pendidiknya. Oleh yang demikian, dalam kes Nabi Musa dan Nabi Khidir ini dapat dilihat bahawa di akhirnya Nabi Khidir melayani segala persoalan yang timbul dalam fikiran Nabi Musa dengan menceritakan hikmah di sebalik tindakan beliau.
2. Kisah ini juga menunjukkan terdapat dua kaedah pengajaran dan pembelajaran. Kaedah pertama adalah belajar secara rasionaliti dengan menjadikan akal sebagai alat. Kaedah inilah yang dilakukan oleh Nabi Musa dalam proses pembelajarannya dengan Nabi Khidir. Kaedah kedua pula adalah belajar menerusi ilmu yang tersirat atau dikenali sebagai ilmu ladunni dengan menjadikan hati yang bersih sebagai alat. Kaedah inilah yang dipakai oleh Nabi Khidir dalam usaha menyampaikan ilmu kepada Nabi Musa. Mana-mana satu kaedah ini tidak salah untuk dipakai dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Walau bagaimanapun, sebaik-baiknya biarlah kedua-dua guru dan juga anak murid mengajar dan belajar dengan menggunakan kaedah yang sama. Sebenarnya, dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir ini, terdapat hikmah di sebalik wujudnya perbezaan kaedah pengajaran dan pembelajaran di antara keduanya. Nabi Khidir merupakan seorang Nabi yang diberikan Allah ilmu dan tidak disyaratkan untuk diajar kepada orang lain serta tidak diwajibkan mempunyai pengikut. Maka ilmunya adalah untuk dirinya sahaja. Manakala Nabi Musa pula merupakan seorang Rasul yang dikurniakan Allah ilmu untuk dirinya dan untuk diajar kepada orang lain serta mempunyai pengikut. Maka ilmunya bukan sahaja untuk dirinya sendiri malah juga untuk pengikut-pengikutnya. Kaedah yang dipakai oleh Nabi Khidir dalam mengajar adalah lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang Nabi manakala kaedah yang dipakai oleh Nabi Musa pula adalah lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang Rasul.
3. Setiap murid harus patuh dan memelihara adab dengan gurunya. Setiap murid juga harus bersedia dididik oleh gurunya secara sepenuhnya iaitu dari awal hingga akhir. Walau bagaimanapun, untuk situasi sekarang, kepatuhan kepada guru adalah tertakluk kepada syariat Islam itu sendiri.
4. Dalam setiap bentuk perjuangan termasuklah dalam proses mendidik mesti ada strategi tertentu. Sebagai strategi, maka ia tidak pula wajib untuk dihebahkan atau diceritakan kepada orang lain. Inilah yang dilakukan oleh Nabi Khidir. Dalam kisah ini diperhatikan ada strategi yang diperjuangkan oleh Nabi Khidir. Pertamanya, strategi menyelamatkan rakyat yang tertindas dari pemimpin yang zalim. Kedua, strategi menyelamatkan aqidah umat. Dan yang ketiganya, strategi menyelamatkan anak yatim daripada kerakusan orang-orang tamak. Oleh yang demikian, sebagai seorang murid mahupun pengikut, perlu patuh kepada guru mahupun pemimpin kerana setiap yang dilakukan ada strategi tertentu dan tidak kesemua strategi akan diceritakan kepada murid dan pengikut itu sendiri. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Hassan al-Banna bila mana beliau memerintahkan kesemua pengikutnya mencukur janggut yang merupakan sunnah untuk disimpan. Tindakan Hassan al-Banna ini sebenarnya adalah untuk mengelabui mata pemimpin yang mahu menghancurkan perjuangan Islam dengan cara membunuh tiap pengikut gerakan Islam. Salah satu tanda ahli pejuang Islam yang diketahui oleh pemimpin diketika itu adalah mereka yang menegakkan sunnah Rasulullah s.a.w.
Bahan ini merupakan tazkirah yang disampaikan oleh Profesor Muhammad Syukri Salleh dalam kuliah SIW502, Program Sarjana Pengurusan Pembangunan Islam dan diperkemaskan berdasarkan artikel bertajuk "Nabi Khidir" yang dicapai dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nabi_Khidir.
Assalamu 'alaikum.
ReplyDeleteSilahkan visit http://islamme-zen.blogspot.com tentang mengungkap rahasia puasa nabi Daud A.S.
Makasih.